SALATIGA – Gereja Kristen Jawa Tengah Utara (GKJTU) bermula dari keluarga D.D.Le Jolle seorang pengusaha perkebunan di desa Simo, Boyolali. Tahun 1853 keluarga ini rutin memberitakan injil dan membuat para pegawai di perkebunan percaya dan menular kepada warga sekitar.
Usai itu, keluarga D.D.Le Jolle menghubungi Ds. Jellesma dari Mojowarno (GKJW). Setelah itu diutus seorang murid Ds. Jellesma yairu Petroes Sadaja untuk mengajar para pegawai da warga yang percaya injil. 2 tahun setelah itu, tepatnya tahun 1855 sebanyak 10 orang dibaptis.
Namun tahun 1857 D.D.Le Jolle dipanggil Tuhan. Setetelah itu istrinya, Le Jolle dibantu Hoezoo mendapatkan izin dari pemerintah untuk membuka hutan di sebuah tempat dekat Salatiga.
Sebanyak 50 orang Kristen pun ikut pindah ke tempat yang diberi nama Njemoh.
Ditahun yang sama Le Jolle kembali ke Belanda dan menikah dengan Van Vollenhoven. Meskipun di Belanda, Le Jolle tetap memikirkan jemaat di Njemoh agar tetap bisa hidup dan terlayani.
Kemudian ia menghubungi Pdt. Ds. HW Witteveen yang melayani di jemaat Ermelo-Belanda. Setelah berbincang-bincang, R.de Boer diutus ke Njemoh tanggal 27 Oktober 1868 dan tiba tanggal 4 Juni 1869.
Jemaat Njemoh semakin tumbuh Tahun 1876 menjadi 70 orang. Pada tahun 1881 dusun Njemoh dijadikan satu dengan dusun lainnya dan menjadi desa dengan lurah Kristen. Nama kelurahan ini Wonoredjo.
Zaman Salatiga Zending (1884-1941)
Jemaat Ermelo di negeri Belanda menghubungi Die Waisen und Missionanstnaltzu Neukirchener, yang didirikan pada tahun 1878, yang kemudian menjadi Neukirchener Mission.
Dari hubungan ini, tahun 1884 diutus 5 pendeta dari Negeri Belanda dan tahun 1886 serta 1888 diutus lagi 4 pendeta dari Jerman. Mereka tinggal di Salatiga dan jemaat sekitarnya.
Para utusan zending ini pada bulan Juni tahun 1888 mendirikan ‘De Bond van Zendelingen van de Salatiga Zending op Java (Salatiga Zending). Disebut demikian karena permulaan pekabaran Injil dimulai dari daerah Salatiga.
Para utusan zending ini tidak menerima gaji yang tetap. Mereka bersandar sepenuhnya kepada Tuhan sembari berusaha sendiri dengan modal yang ada dengan membuat peternakan dan sebagainya. Pola seperti ini berlangsung terus hingga sampai pada saat terakhir mereka melayani di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Tahun 1915-1920 ketika kesulitan terjadi di Jerman, Neukirchen tidak dapat mengutus pendetanya. Baru pada tahun 1921 diutus lagi pendeta-pendeta dari Jerman yang agak cukup, sekalipun tidak sebanyak tahun-tahun sebelumnya.
Tidak mudah bagi pendeta zending menyerahkan pelayanannya kepada tenaga dari Jawa karena masih sedikit yang berpendidikan baik. Hal ini membuat kedewasaan jemaat-jemaat Salatiga Zending, sangat tertinggal bila dibandingkan dengan jemaat-jemaat Kristen Jawa lainnya, misalnya di Jawa Tengah Selatan, Jawa Timur dan Jawa Barat.
Meskipun demikian, jemaat-jemaat yang ada tetap didewasakan dan jemaat “diberi” majelis yang bertugas membantu pendeta (pendeta zending). Walaupun pada kenyataannya, hanya pendeta yang memimpin jemaat.
Tanggal 25 Agusutus 1935 Jemaat Purwodadi yakni jemaat pertama di lingkungan Salatiga Zending memanggil Guru Injil sendiri. Setelah itu jemaat tempat lain dengan Guru Injil dan Pendeta Jawa menyusul dewasa. Namun karena pada umumnya jemaat sangat tidak mampu membiayai sendiri, maka sekalipun sudah didewasakan pembiayaan masih sangat tergantung pada zending.
Maret 1937 “Raad Agoeng” berdiri di jemaat Purwodadi. Raad agoeng ini belum sama dengan sinode, tetapi menuju ke arah itu. Jumlah warga “sinode” waktu itu terdiri dari 56 jemaat , 53 pepanthan (waktu itu disebut goeyuban), 13 pendeta serta sejumlah pendeta wanita dan 55 guru injil.
Di sisi lain muncul masalah lain yaitu corak “alliance” yaitu corak yang tidak memperdulikan asal denominasi seseorang untuk menjadi missionaris. Saat itu yang penting missionaris tersebut terpanggil memberitakan injil di Jawa.
Hal ini membuat di GKJTU ada “pelangi” berbagai paham teologi, sesuai dengan pemberita yang mengajarkannya. Akibatnya corak teologi di GKJTU kabur dan lemah.
Upaya Menggeliat Keluar (1941-1987)
Meskipun sudah dewasa tapi masih banyak jemaat yang belum mampu memikul tanggung jawab sebagai gereja. Terlebih ketika perang dunia II, selain ditinggalkan tenaga dari Jerman dan tidak lagi menerima bantuan keuangan, Pasmuwan Salatiga Zending semakin mengalami kemunduran. Masalah utama yang sangat mendasar dan kompleks adalah berkaitan dengan kepemimpinan, teologi, pengorganisasian, dan kehilangan dasar fisik material untuk pekerjaan selanjutnya.
Dalam situasi yang serba sulit itu, Pasamuwan Salatiga Zending menyambut upaya pendekatan dengan Gereja Jawa di Selatan menyusun sinode kesatuan tahun 1949. Namun sinode kesatuan tidak lama bertahan.
Pasamuwan Salatiga Zending akhirnya berdiri sendiri dengan kedudukan hukum sebagai Gereja No 92, STBL No 465, 24 Desember 1949 dengan nama GKJTU. Pemisahan dari Sinode Kesatuan membuat situasi GKJTU semakin menderita. Warga GKJTU tinggal 2.000 jiwa, lebih dari 4.000 orang tidak lagi menjadi warga GKJTU. Juga ada begitu banyak aset gereja warisan Salatiga Zending yang beralih ke pihak lain.
Peristiwa G30SPKI tahun 1965 telah menciptakan masa baru bagi gereja-gereja di Jawa termasuk GKJTU. Saat itu GKJTU menerima banyak warga baru.
Di tahun yang sama hubungan dengan Neukirchener Mission mulai pulih. Ini menandakan ada pertolongan untuk melanjutkan pelayanan di GKJTU.
Tahun 1969 GKJTU kembali membuka Sekolah Penginjilan “Sabda Mulya” tahun 1969 setelah tutup sejak tahun 1937. Ada 12 murid yang mendaftar waktu itu dan ada 2 tenaga missionaris yang mengajar. Sekolah ini kembali dibuka untuk mempersiapkan para pelayanan Tuhan untuk melayani di pedesaan.
Pada masa ini ada berbagai pembaharuan dilakukan di GKJTU antara lain ditampilkannya pimpinan muda dipucuk pimpinan sinode, alih generasi dari generasi zending kepada generasi baru, dan pembaharuan struktur pengorganisasian. Tahun 1972, GKJTU diterima sebagai anggota ke-42 di Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI).
Dalam perjalannya, GKJTU masih harus mengalami beberapa tantangan seperti dalam kurun waktu 1949-1984. Ada beberapa masalah mendasar yang terjadi seperti:
- Masih sering terjadi Sidang Sinode Istimewa (“darurat”) merupakan akibat adanya persoalan-persoalan pengajaran, kepemimpinan, organisasi, dan sebagainya.
- Masih adanya pandangan yang bervariasi di antara warga dan pejabat gereja tentang ibadah dan pengajaran; sehingga tidak mempunyai pemahaman visi dan misi yang sama.
- Sebagai akibat dari apa yang dikemukakan di atas, sekalipun GKJTU menyebut dirinya pewaris Salatiga Zending, dalam kenyataannya tidak mencerminkan semangat Salatiga Zending.
- GKJTU belum mampu mengatasi diri sendiri dalam hal “mencukupkan kebutuhan bergereja.” Belum mampu menatalayani aset-aset yang tersedia.
Puncaknya, pada Sidang Sinode XXII GKJTU tahun 1984 para pengurus sepakat mengadakan pembaharuan mendasar. Persidangan ini bertetapan dengan ditetapkannya UU No 8 tahun 1985, tentang asas tunggal Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Momentum ini dipergunakan oleh GKJTU sebagai saat yang baik dan tepat untuk memahami ulang asas-asas pengajaran, dasar ibadah dan peraturan bergereja. Sidang juga memutuskan agar dalam kurun 1985-1988 mencurahkan perhatian pada pokok-pokok yang mendasar dan strategis tersebut. (sinodegkjtu.org/NW)