Zaman sekarang, guru lebih dikenal sebagai pengajar atau pendidik baik dalam ilmu maupun pemandu spiritual. Tidak demikian halnya bagi pemahaman Yahudi pada zaman Yesus. Kata yang digunakan untuk guru dikenal dengan sebutan rabbi, yang berarti “tuanku” atau “besar/agung”, yang digunakan oleh seorang hamba ataupun seorang murid kepada tuannya sendiri dengan rasa hormat. Istilah rabbi di masa Yesus tidak selalu mengacu pada jabatan tertentu, tetapi jelas digunakan sebagai istilah untuk menghormati seorang guru walaupun posisi formal rabbi akan datang kemudian.
Dalam satu pengertian kemudian, memanggil Yesus “Rabbi” adalah anakronisme, namun penggunaan istilah ini untuk-Nya oleh orang-orang pada zaman-Nya adalah ukuran rasa hormat mereka yang besar kepada Yesus sebagai pribadi dan sebagai seorang guru yang bukan hanya merujuk pada aktivitas mengajar-Nya saja. Istilah ini jauh berbeda dengan pemahaman guru zaman sekarang, sehingga sulit mendapatkan padanan “rabbi” dengan satu kata. Sebutan ini menjadi formal untuk seorang guru setelah Bait Suci di Yerusalem dihancurkan (70 M).
Banyak orang menyebut Yesus sebagai Rabbi; Murid-murid-Nya (Lukas 7:40), ahli Taurat (Matius 22: 35-36), orang-orang biasa (Lukas 12:13), orang kaya (Matius 19:16), orang-orang Farisi (Lukas 19:39), dan orang-orang Saduki (Lukas 20: 27-28). Yesus cocok dengan deskripsi tentang rabbi abad pertama, terutama yang paling maju, yang dicari oleh talmidim (murid). Keputusan untuk mengikuti seorang rabbi sebagai talmid berarti komitmen total di abad pertama seperti sekarang ini. Karena talmid benar-benar dikhususkan untuk menjadi seperti rabbi, dia akan menghabiskan seluruh waktunya untuk mendengarkan dan mengamati gurunya untuk mengetahui bagaimana memahami Kitab Suci dan bagaimana menerapkannya. Yesus menggambarkan hubungan-Nya dengan murid-murid-Nya dengan cara seperti ini (Matius 10: 24-25; Lukas 6:40). Ia memilih mereka untuk mengikuti Dia (Markus 3: 13-19) supaya mereka dapat menjadi seperti Dia (Yohanes 13: 15).
Menurut Profesor Safrai, rabbi yang bertualang itu adalah norma, bukan pengecualian. Ada ratusan dan mungkin ribuan rabbi semacam itu beredar di tanah Israel pada zaman Yesus. Para rabbi ini tidak segan-segan melakukan perjalanan ke desa-desa terkecil atau daerah yang paling terpencil. Mereka sering melakukan kelas mereka di alun-alun desa atau di bawah pohon (Safrai, 965). Dalam beberapa kasus, kelas akan dilakukan di rumah seseorang. Seringkali kelas-kelas ini kecil. Para rabbi tidak segan-segan mengajar sebanyak empat atau lima siswa. Menurut kebiasaan, seseorang tidak dapat menuntut pengajaran Kitab Suci, jadi rabbi berkeliling dengan bergantung pada keramahan dan kemurahan hati masyarakat. Banyak rabbi membawa makanannya bersama mereka – kantong makanan dan beberapa buah zaitun. Dari situ mereka bertahan sebab tidak ingin menjadi beban tuan rumah mereka. Rabbi tinggal di masyarakat mungkin selama beberapa hari sampai berminggu-minggu, atau bahkan berbulan-bulan. Namun, untuk siswa jangka panjang (“murid”), belajar dari seorang rabbi berarti turut bepergian, karena rabbi selalu berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Jika seseorang ingin belajar dari seorang rabbi, maka ia harus “mengikutinya”.
Kita dipanggil untuk mengikuti rabbi Yesus. Menjadi murid rabbi Yesus bukanlah pengecualian tetapi adalah panggilan yang Ia sendiri nyatakan kepada diri kita. Kegagalan dalam mengikuti panggilan rabbi Yesus disebabkan kesenangan dengan jabatan atau status yang sudah mapan sehingga sangat beresiko jika ditinggalkan dan atau tidak sepadan yang didapatkan untuk mengikut rabbi Yesus. Ketidakseriusan di dalam berjalan bersama-sama dengan Yesus atau menganggap sepele ajaran Yesus merupakan penghalang kita untuk dapat menjadi murid rabbi Yesus.
Sebagaimana Rabbi Yesus yang melewati proses pembelajaran sejak usia dini hingga menjadi siap tampil berbicara di sinagoge maka seharusnya “guru” di Sekolah Tinggi Teologi maupun hamba-hamba Tuhan bukanlah orang karbitan yang mengecap pendidikan murahan dan pembelajaran bodong. Rabbi Yesus berkeliling dari desa ke desa, dari kota ke kota tidak menawarkan ijasah atau jabatan kependetaan tetapi mengajarkan tentang Kerajaan Allah. Yesus tidak meminta-minta uang bahkan tidak menuntut fasilitas kepada orang-orang yang dilayani saat Ia mengajar. Ia penuh dengan pemahaman bahwa seorang rabbi adalah orang yang dipanggil untuk menyampaikan ajaran-ajaran hukum Taurat dengan benar. Sebagai seorang Rabbi, integritas-Nya dan pengorbanan-Nya dipertaruhkan di depan umum dengan penuh resiko. Ia bukanlah Rabbi yang gemar untuk mengajarkan ajaran murahan demi orang banyak mengikuti Dia, sebaliknya ajaran-Nya keras sehingga banyak orang yang meninggalkan Dia.
Jika kita melihat Yesus sebagai Rabbi agung dan satu-satunya seharusnya Dia menjadi model dan satu-satunya panutan yang harus diikuti. Jika kita mengaku murid dari Yesus bukankah kita harus berlaku seperti Guru kita dengan tidak menjualbelikan ijasah sekolah; mengangkat pendeta dengan mudah karena mencari imbalan. Yesus membuang murid-murid yang tidak dapat sejalan dengan Dia, tanpa segan ia mencampakkan murid yang mencari keuntungan terhadap diri sendiri bak Yudas Iskariot sedangkan jika sang Rabbi menilai seorang murid memiliki kemampuan potensial untuk menjadi seperti Dia, yaitu untuk meniru dan mentaati Dia, maka Rabbi akan mengucapkan kata-kata terima kasih kepada setiap murid serta berkata: “Ikutlah Aku!” Sudahkah rabbi zaman now berguru dari sang Rabbi Agung Yesus Kristus? ytanasyah@yahoo.com