Aja mung nyawang sing kesawang (jangan hanya melihat dari apa yang terlihat). Seneng nyawang penake uwong, lali penake dhewe (senang melihat nyamannya orang lain, lupa dengan nyamannya diri sendiri). Seneng nyawang duwene uwong nganti lali duwene dhewe (selalu melihat milik orang lain sampai lupa dengan miliknya sendiri). Koyone sing ndelok kepenak, sing nglakoni durung mesti kepenak (kalau dilihat menyenangkan, tapi yang menjalankan belum tentu juga menyenangkan). Sing ndelok koyone ora kepenak ning sing nglakoni kepenak (yang melihat merasa tidak mengenakkan tetapi yang menjalaninya merasa mengenakkan). Ketoke kepenak jebul rekoso (sepertinya menyenangan tetapi menyusahkan). Ketoke ora penak jebul penaknan (sepertinya tidak menyenangkan, ternyata sangat menyenangkan). Kalimat-kalimat dalam bahasa Jawa tersebut diatas terkesan sederhana tetapi sejatinya cukup bermuatan filosofi dan spiritual dalam hidup. Memperlihatkan kepada kita bahwa apa kita lihat belum tentu akan sama dengan apa yang terjadi sebenarnya.
Bagi mayoritas orang berpendapat bahwa berkeluarga sampai dengan memiliki anak adalah salah satu bentuk kebahagiaan tak terhingga. Lalu bagaimanakah caranya supaya kita senantiasa berbahagia? Alkitab banyak berisi ajakan agar orang percaya hidup senantiasa bersyukur dan bersukacita, karena dua hal tersebut adalah kunci utama meraih kebahagiaan. “oleh sebab itu jikalau orang panjang umurnya, biarlah ia bersukacita didalamnya, tetapi hendaklah ia ingat akan hari-hari yang gelap, karena banyak jumlahnya. Segala sesuatu yang datang adalah kesialan” (Pengkhotbah 11 : 8).
Apa yang menyebabkan orang senantiasa bersyukur dan bersukacita? Pada umumnya karena ada sesuatu yang baik yang dialaminya. Entah itu gaji yang naik, promosi jabatan dan sebagainya. Dengan selalu bersyukur dalam segala hal secara otomatis akan mengubur rasa iri hati dan cemburu sehingga apabila ada orang lain yang menaruh rasa iri hati dan cemburu kepada kita, sejatinya posisi kita telah berada diatasnya. Tidak perlu resah dalam menghadapinya, cukup diberikan senyum saja.
Sukacita adalah cara memandang hidup. Orang mampu bersukacita bukan karena hidupnya selalu baik dan tanpa permasalahan. Orang bersukacita karena ia mampu melihat bahwa seluruh kehidupannya senantiasa ada yang baik. Orang melihat dan menilai suatu fenomena seringkali juga berbeda-beda. Apa artinya? Seperti apa kenyataan itu tergantung dari cara pandangnya. Kalau kita memandangnya sebagai sebuah kepedihan, jatuhlah kita pada kegundahan dan keputus-asaan. Kalau kita memandangnya sebagai cara Tuhan membentuk kita, kita akan mampu bersukacita. Cara pandang ini bukan tanpa dasar, oleh karena itulah kita diminta terus berharap pada kesukacitaan dalam keyakinan iman.
Bagaimana caranya agar dalam hidup ini kita senantiasa bersyukur dan bersukacita? Pandanglah hidup secara positif. Tuhan telah memberikan anugerah yang luar biasa, yaitu pengorbanan-Nya. Jika Tuhan mengasihi kita, bahkan dengan mengorbankan diri-Nya, apalagi yang kurang? Ini adalah pernyataan valid mengapa orang-orang percaya dipanggil untuk senantiasa bersyukur dan bersukacita.
Manusia melihat sesuatu dengan kedua matanya akan tetapi Tuhan melihat hati, seperti yang telah disebutkan, “sebab Ia telah memandang dari ketinggian-Nya yang kudus, Tuhan memandang dari sorga ke bumi” (Mazmur 102 : 20). Seperti yang kita ketahui, bahwa mata seringkali mudah terbohongi oleh suatu keadaan. Tetapi bagaimana caranya supaya kita dapat melihat dengan hati seperti yang dikehendaki Tuhan? Kepekaanlah yang seharusnya terus kita asah. Hanya dengan melihat kehidupan, pasangan hidup, anak-anak dan apapun yang kita dapati sampai dengan saat ini sebagai anugerah dan suatu pencapaian niscaya hidup kita berbuahkan syukur dan suka cita. “Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan : Bersukacitalah!” (Filipi 4 : 4). Selamat menempuh hidup dalam sudut pandang penuh rasa syukur dan kesukacitaan. Bahagia bukan milik dia yang hebat dalam segalanya, namun dia yang mampu temukan hal sederhana dalam hidupnya dan senantiasa bersyukur serta bersuka cita sebagai cara pandang menurut-Nya.
Oleh: Yudhi Widyo Armono, SE, SH, MH.
Tulisan ini adalah kiriman dari pembaca tabloidmitra.com, isi dari tulisan di luar tanggung jawab redaksi.