Jakarta – Sejak diluncurkan 24 Maret 2021, buku “Refleksi 100 Tahun GPdI” yang ditulis Dr. S Tandiassa, M.A, mendapatkan beragam tanggapan dan komentar, yang diposting dimedia sosial, baik lewat grup https://web.whatsapp.com, dan yang dikirim ke penulis langsung, diantaranya.
Drs. J. Poerwadi, mantan Kepala RRI, Papua dan saat ini dosen ST Multimedia milik TVRI Jogjakarta. “Buku ‘Refleksi 100 Tahun GPdI’, yang ditulis Dr. S. Tandiasa M.A sebanyak 178 halaman, merupakan buku penting dalam sejarah GPdI yang dipublikasikan secara luas meskipun untuk kalangan GPdI khusus-nya oleh penulis dipersembahkan kepada seluruh hamba Tuhan GPdI,” tulisnya yang diterima media ini dari penulis.
“Saya berkeyakinan ini buku pertama yang lengkap, untuk kita simak, pelajari, renungkan ditindak lanjuti. Apapun isinya tentu ada mutiara-mutiara yang kita peroleh dan disimpan dalam perbendaharan khasanah didalam diri kita nasing- masing. Syukur menjadi acuan membedah masalah yang kita hadapi selama perjalanan 100 tahun GPdI.”
Menurutnya, buku ini ditulis secara ilmiah, berdasarkan buku-buku refrensi yang cukup lengkap, meskipun data-datanya perlu dikongkritkan dengan kaidah penelitian. “Tujuan penulisan buku ini dalam rangka menyambut perayaan satu abad GPdI, untuk pembaca ( khususnya ) hamba Tuhan guna berani melakukan refleksi untuk mendapatkan pelajaran, dan melakukan perubahan, pembaharuan atau bahkan perombakan di dalam GPdI pada masa-masa yang akan datang,”.
Disayangkan Drs. J. Poerwadi, bila ada tanggapan yang apriori melalui buku ini. Maksudnya, berpraanggapan sebelum mengetahui (melihat, menyelidiki, dan sebagainya) keadaan yang sebenarnya. “Jadi bisa kita padankan dengan berprasangka buruk, pada hal belum membaca atau mendapatkan sumber aslinya. Yang lebih parah ada yang memberi komentar, karena mendengar kata orang, dan kata orang tidak jelas sumbernya,”.
Drs. J. Poerwadi berkata membaca buku refleksi ini, terungkap penulis mempunyai perhatian khusus untuk GPdI ke depan. Sebagai bukti, penulis menulis tentang masalah krisis, yang merupakan cikal bakal penghambat berkembangnya GPdI. Krisis yang ditulis adalah krisis kepeminpinan 33 halaman, krisis kepercayaan 38 halaman, dan krisis moral 44 halaman. “Wajar bila krisis moral menjadi sorotan penting sehingga menghabiskan 44 halaman, karena organisasi GPdI tujuan utamanya dalam bidang kerohanian,”katanya.
Selain itu, penulis menutup tulisanya, dengan mengatakan sebagai bentuk tanggung jawab kita atas kesalahan dan kelalaian masa lalu dan realisasi dari upaya untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan yang terjadi akibat kesalahan dan kelalaian itu, perlu melakukan paling sedikit dua hal;
Pertama, mengakhiri semua sistem organisasi dan kepemimpinan serta perilaku para pemimpin yang telah menyebabkan tetjadinya krisis didalam GPdI. Kedua, terbuka pada perubahan dan pembaharuan perubahan adalah sifat alam ini.
Tanggapan juga datang dari pembaca di Bali, Yusak Markus, ST, setelah membaca buku Refleksi 100 tahun GPdI, dan melihat kenyataan-kenyataan sebagaimana yang diungkapkan penulis. “Maaf jika saya harus berkata dari lubuk hati, GPdI harus melakukan reformasi moral. Ini peristiwa yang sudah terlanjur ketahuan oleh pihak luar,”
Tak ketinggalan, tanggapan juga datang dari Luwu Sulawesi Selatan, Pdt. Adiram, bahwa buku Refleksi 100 Tahun GPdI adalah bacaan yang perlu dan dibutuhkan oleh setiap hamba-hamba Tuhan yang melayani dalam ruang lingkup organisasi GPdI. Juga sangat baik sebagai salah satu bahan evaluasi untuk GPdI dapat berbenah diri.
“Yang kritis dalam GPdI banyak, tapi mungkin sangat sedikit yang dengan berani menuangkan itu dalam sebuah karya ilmiah dan dijadikan buku. Salut untuk Samuel Tandiassa,”
“Bagi saya perubahan itu tidak harus menunggu mulai dari pimpinan dulu walaupun harusnya demikian. Perubahan harus dimulai dari setiap yang ‘sadar’ akan perlunya perubahan. Kuncinya yang saya tangkap apa yang disampaikan Samuel Tandiassa adalah diharapkan terjadi perubahan,”.
Apresiasi hadirnya buku Refleksi 100 Tahun GPdI juga disampaikan Pdt. Chemsy Lian, Nusa Tenggara Timur (NTT). “Ada rasa bangga, dan terharu juga saya membaca halaman demi halaman. Puji Tuhan, penulis dengan segala kemampuan baik waktu tenaga, daya, dana dan segala suka/duka telah sukses mempersembahkan buku ini untuk kemajuan GPdI sekarang dan kedepannya.”.
Pdt. Chemsy Lian, memberikan catatan terhadap buku Refleksi 100 Tahun GPdI, pertama, untuk pemimpin dikalangan GPdI jangan merasa hebat ketika memimpin. Jagalah Integritas sebagai kontrol sosial, serta mampu berkata, ya diatas yang ya, dan tidak, diatas tidak.
Kedua, menghindari diri dari KKN, serta tidak terjebak pada kultur individu maupun kroni kelompok. Ketiga, pemimpin harus memiliki kemampuan untuk menciptakan kaderisasi dengan memperhatikan syarat pengkaderan. Keempat, patuh pada regulasi sehingga roda organisasi dapat berjalan secara sempurna.
Sedangkan, Ir. Amos Kenda, MSi, dari Manado, menegaskan berusaha untuk “tidak mengenal” penulisnya, agar apa yang tertuang dalam buku tersebut dapat dilihat secara obyektif.
Apalagi, buku ini cukup mengundang perhatian, terutama dalam kalangan internal GPdI. Relatif banyak yang sependapat dengan isinya, namun ada pula yang terusik, tersinggung, kurang senang, bahkan mungkin marah. “Entah mengapa demikan, hanya mereka yang tahu,”
Buku ini, sesungguhnya kata Ir. Amos Kenda, MSi, bukanlah refleksi (yang menceritakan apa yang dilihat orang dari luar), tapi lebih tepat menulis/ menceritakan what is within (apa yang ada didalam yang dirasakan dan atau dialami), oleh organisasi sebesar dan setua GPdI yang diekspose secara terbuka oleh orang dalam.
“Membaca buku ini secara teliti dan tuntas, bisa menjadikan muka menjadi merah karena memang terasa apa yang disampaikan banyak benarnya. Namun, bagi saya ada yang luput dicermati oleh penulis, yaitu akar dari kemelut ini semua bersumber dari mekanisme hierarki pelaksanaan organisasi. Sejak dahulu, para founding father GPdI dalam membangun jemaat, semua dilakukan dengan daya upaya sendiri,”
“Bahkan banyak yang memberikan secara tulus ikhlas tenaga, harta benda mereka, demi untuk kemajuan pekerjaan Tuhan. Hal ini dipandang sangatlah baik, karena seorang gembala memberikan secara total apa yang dimilikinya dan bersama dengan anggota jemaat membangun rumah Tuhan (fisikal) dan rumah iman,”
Tambahnya, pada saat itu, para gembala umumnya bergaya kepemimpinan paternalistik kharismatik. Sejalan dengan proses waktu, banyak gembala muda (yang telah tamat dari Sekolah Alkitab kelas 2), dengan semangat yang berkobar-kobar “dilepas” untuk membangun jemaat mulai dari nol.
“Dalam proses membangun jemaat ini, mereka meneladani para senior mereka, baik dalam metode pelayanan maupun dalam praktik pembangunan fisik rumah Tuhan. Pada umumnya berhasil, mengapa? Karena tips trik mereka peroleh ketika magang sebagai pengerja, pada saat selesai kelas 1,”.
Masih ada banyak komentar, yang dapat beritakan tapi terbatasi oleh halaman web.