BANTUL – Seorang seniman pelukis, bernama Slamet Jumiarto (42) mengalami perlakuan yang tidak sepantasnya terjadi di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berpegang pada ideologi kebangsaan, Pancasila.
Ceritanya, bermula Slamet Jumiarto mencari rumah kontrakan untuk tempat perteduhan keluarganya. Tak disangka, ia melihat ada iklan di media sosial yang cukup menarik harganya.
Warga asli Semarang yang sudah berdomisili selama 19 tahun di Yogyakarta ini memberanikan diri mengubungi penyedia iklan kontrakan rumah itu. Dari situ ia makin tertarik karena harga dari rumah kontrakan tersebut ebih murah dari kontrakan yang sebelumnya ditempatinya.
Sebelum menempati rumah kontrakan tersebut, ia memperkenalkan diri terlebih dahulu kepada pihak yang menyediakan kontrakan, baik itu yang memasang iklan dan pemilik rumah. Saat itu pihak yang menyediakan kontrakan tidak keberatan dan tidak menyinggung adanya penolakan.
“Pindah ke sini (Dusun Karet) karena lebih luas dan harganya lebih murah. Terus hari Sabtu tanggal 30 Maret 2019 saya mulai menempati rumah ini,” ceritanya saat berada di rumah kontrakannya, RT 8 Dusun Karet, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Bantul, Selasa (2/4/2019).
Sebagai masyarakat yang taat aturan, pria yang sudah KTP Yogyakarta ini, keesokan harinya, Minggu (31/3) Slamet menemui Ketua RT 8 Dusun Karet untuk melaporkan keberadaannya sebagai penduduk atau warga baru di Dusun tersebut.
Bahkan, Slamet Jumiarto, melengkapi semua yang menjadi persyaratan wajib (umum) yang dibutuhkan oleh pemerintah setempat bila menerima pendatang baru. “Hari Minggunya saya menemui pak RT (RT 8) untuk melapor, sekalian memberikan fotocopy KTP, KK dan surat nikah. Tapi begitu dilihat (fotocopy KTP, KK dan surat nikah) dan tahu saya (keluarga) non muslim maka kami ditolak (tinggal di rumah kontrakan) sama Pak RT,” ceritanya.
Penolakan itu membuat Slamet Jumiarto, Senin (01/4) berupaya menemui Ketua Kampung setempat. Namun, upayanya tidak membuahkan hasil dan Slamet beserta keluarganya tetap ditolak untuk tinggal di sana.
Tak terima dengan perlakuan yang diterimanya, Slamet Jumiarto melaporkan hal itu kepada Sekretaris Sultan HB X (Sekda DIY). “Laporan saya ditindaklanjuti, kemudian diarahkan ke Sekda Bantul, terus dari Sekda Bantul diantar ke Kelurahan Pleret. Di sana (Kelurahan Pleret) saya bertemu Pak Lurah dan Pak Dukuh, Pak Ketua Kampung untuk musyawarah, tapi hasilnya tetap ditolak,” katanya.
Hasil yang diperolehnya belum memuaskan, pasalnya di Negara yang berideologi Pancasila yang menerima dan mengormati semua agama, telah terjadi intoleran alias penolakan hanya karena berbeda agama. “Pas mediasi tadi ada beberapa orang yang menerima (saya mengontrak di Dusun Karet), terutama sesepuh-sesepuh ada empat orang yang saya lihat welcome kepada saya. Tapi karena sudah ada aturan tertulis, dari Ketua RT (8) memberi saran agar saya tinggal di sini (Dusun Karet) enam bulan saja, terus yang enam bulan lagi dikembalikan dalam bentuk uang,” katanya
Dari hasil mediasi dengan semua yang berkepentingan dan warga, tetap saja Slamet Jumiarto dan keluarga tidak dapat tinggal di Dusun Karet.
Berikut isi surat keputusan tentang persyaratan pendatang baru di padukuhan Karet yang ditunjukkan oleh Slamet dalam bentuk foto kepada wartawan:
Mengingat,
Demi kelangsungan dan kenyamanan hidup bermasyarakat
Menimbang
Hasil keputusan rapat pengurus kelompok kegiatan padukuhan Karet pada Senin 19 Oktober 2015 yang bertempat di Kantor Padukuhan Karet.
Memutuskan
Syarat bagi pendatang baru di padukuhan Karet
Bersifat non materi:
1. Pendatang baru harus Islam. Islam yang dimaksud adalah sama dengan faham yang dianut oleh penduduk padukuhan Karet yang sudah ada.
2. Tidak mengurangi rasa hormat, penduduk padukuhan Karet keberatan untuk menerima pendatang baru yang menganut aliran kepercayaan atau agama non islam seperti yang dimaksud pada ayat 1.
3. Bersedia mengikuti ketentuan adat dan budaya lingkungan yang sudah tertata, seperti peringatan keagamaan, gotongroyong, keamanan lingkungan, kebersihan lingkungan dan lain-lain.
4. Bagi pendatang baru baik yang menetap atau kontrak/kost wajib menunjukkan identitas kependudukan yang asli (akta nikah, KTP, KK) dan menyerahkan fotocopynya.
Bersifat non materi
Bagi pendatang baru yang menetap dikenakan biaya administrasi sebesar Rp 1 juta dengan ketentuan Rp 600 ribu masuk kas kampung melalui kelompok kegiatan padukuhan karet dan Rp 400 ribu masuk kas RT setempat (RT.1 sampai 8).
Berdasarkan SK nomor 02/POKGIAT/Krt/X/2012 (terlampir).
Sanksi
Apabila pendatang baru tidak memenuhi ketentuan di atas maka dikenakan sanksi:
1. Teguran secara lisan
2. Teguran secara tertulis
3. Diusir/dikeluarkan dari wilayah Padukuhan Karet
Soal aturan bagi pendatang baru, diiyakan oleh Kepala Dusun Karet (Dukuh), Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Bantul. Menurutnya, aturan tersebut telah disepakati warga Dusun Karet dan sudah berlaku sejak tahun 2015.
Spontan masalah dari Slamet Jumiarto menjadi perbincangan kalayak ramai dan membuat Ketua DPRD DIY, Yoeke Indra Agung Laksana mendesak Dukuh Karet, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Bantul merevisi aturan yang melarang warga beda agama dari mayoritas warga setempat untuk tinggal di kampung itu. “Kalau kita menganggap bahwa kita merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, berarti memang itu (aturan kampung) harus kita revisi,” tegas Yoeke.
Apa yang telah menjadi aturan dari Dukuh Karet menurut Yoeke sudah bertentangan dengan amanat Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila, di mana menjelaskan setiap warga negara berhak tinggal di manapun berada. Tidak dibenarkan pelarangan warga untuk tinggal di suatu tempat hanya karena berbeda keyakinan.
Begitu pun Bupati Kabupaten Bantul, Suharsono menegaskan aturan Dukuh Karet, Desa Pleret itu melanggar hukum dan harus diubah. “NKRI mengedepankan Bhinneka Tunggal Ika dan seharusnya tidak ada mendiskreditkan suku, ras dan agama. Jadi aturan itu (warga non muslim tinggal di Dusun Karet) salah besar dan melawan hukum itu,” ujar Suharsono saat ditemui wartawan di Kantor Bupati Kabupaten Bantul, Selasa (2/4/2019).
Pada kesempatan itu, Bupati mengatakan dari Pak Dukuh (Dusun Karet) sudah menyatakan dan mengakui kalau aturan itu dibikinnya sendiri, dia juga sudah minta maaf atas kekurangan pengetahuannya akan hukum.
Dari fakta ini jelas sekali Pancasila mulai digerogoti secara perlahan. Apakah ini ada skenario menggerogoti pancasila dengan menggunakan strategi perang ala Mao Zedong, yang terkenal, “Desa Mengepung Kota Saat merebut Beijing” atau dapat disebut merebut ibu kota dari desa?
Maksudnya, ketika aturan-aturan bernuansa agama tertentu menguasai alias sudah diberlakukan dari tingkat desa, kecamatan dan barulah masuk kota lalu menjadi aturan nasional. Ini perlu diwaspadai, sebab kalau ini terus berlangsung, ini akan membuat Indonesia tinggal nama karena akan terjadi praktik-praktik diskriminasi, sedangkan Indonesia warga masyarakatnya sangat plural. (NBS)