Yogyakarta – Tahun 2022 akhirnya berlalu. Tentu kita patut bersyukur atas berlalunya waktu satu tahun lagi, karena itu berarti kita juga diberi peluang untuk hidup dan menjalani tahun yang akan datang. Sepanjang tahun 2022 dan tahun-tahun sebelumnya ada banyak hal indah yang kita terima dari Tuhan. Itu adalah fakta! Akan tetapi secara faktual pula tidak sedikit peristiwa tragis, pengalaman buruk, situasi kelam, dan kondisi memprihatinkan yang terjadi dan menimpa diri kita, keluarga kita, serta komunitas dan gereja kita. Hal-hal tersebut dapat membuat tahun 2022 tampak dan memberi kesan sebagai ‘Tahun Kelam’ yang meninggalkan goresan luka-luka kepedihan, kekecewaan, penyesalan, kemarahan, dan antipati.
Secara biblikal tidak semua waktu itu indah dan tidak semua waktu disyukuri. Ada waktu atau tahun-tahun yang sangat KELAM yang tidak diinginkan, ada tahun-tahun KELAM yang diharapkan berlalu secepat mungkin, dan ada waktu atau tahun-tahun yang disesali. Historis biblikal mencatat seorang saleh yang dibanggakan Allah karena kesalehan dan kesetiannya, pernah menyesali adanya waktu, tahun, bulan, dan hari yang di dalamya ia dilahirkan.
Perhatikan apa kata Ayub: “Kemudian Ayub mulai berbicara dan mengutuki hari kelahirannya, katanya,”Ya Allah, kutukilah hari kelahiranku, dan malam aku mulai dikandung ibuku! Ya Allah, jadikanlah hari itu gelap, hapuskan dari ingatan-Mu hingga lenyap; janganlah Engkau biarkan pula cahaya cerah menyinarinya. Jadikanlah hari itu hitam kelam, gelap gulita, kabur dan suram; liputilah dengan awan dan mega, tudungilah dari sinar sang surya. Hendaknya malam itu dihilangkan dari hitungan tahun dan bulan; jangan lagi dikenang, jangan pula dibilang”(Ayub 3:1-6, ISB).
Yesus anak Allah yang sempurna menyatakan bahwa ada waktu yang Dia tidak inginkan, dan karena itu Yesus berharap waktu itu segera berlalu dari jalan hidup-Nya: “Dan Ia membawa Petrus, Yakobus dan Yohanes serta-Nya. Ia sangat takut dan gentar, lalu kata-Nya kepada mereka: “Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya. Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah.”Ia maju sedikit, merebahkan diri ke tanah dan berdoa supaya, sekiranya mungkin, saat itu lalu dari pada-Nya” (Mark. 14:33-35).
Kelamnya Tahun 2022
Melewati tahun 2022, secara umum, di satu sisi harus disyukuri sebagai berkat Tuhan, tetapi di sisi lain secara khusus, bagi ‘organisasi religius’ ini, tahun 2022 dan tahun-tahun sebelumnya, adalah tahun yang paling “KELAM” sepanjang sejarah keberadaannya di bumi Indonesia. Bahkan jika keadaan “KELAM” 2022 tidak segera berubah, maka tahun 2023 dapat berubah menjadi tahun kehancuran yang dapat menutup sejarah organisasi ini di negeri Indonesia.
Secara obyektif, sifat waktu itu sesungguhnya netral. Yang membuat waktu – dalam konteks tulisan ini – menjadi baik atau jahat, menjadi kelam atau cerah, atau menjadi indah atau buruk, adalah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh manusia, dalam hal ini oleh para pemegang kewenangan. Tidakan-tindakan dapat membuat sifat waktu ataun tahun menjadi kelam bila atau karena: 1) para pemangku kewenangan tidak memiliki kapasitas, 2) tidak memiliki visi dan misi yang jelas untuk masyarakatnya, 3) misinya adalah meraih kehormatan melalui posisi, 4) memanfaatkan posisi dan jabatan untuk keuntungan-keuntungan pribadi atau kelompok, 5) mengabaikan nilai-nilai moral, dan, 6) tidak memiliki INTEGRITAS.
Tahun 2022 menjadi KELAM khususnya bagi dan di dalam lembaga gereja ini, karena adanya tindakan-tindakan hantam kromo para pemangku kewenangan. Tindakan-tindakan tersebut menimbulkan peristiwa-peristiwa yang membuat situasi, kondisi, dan atmosfear di dalam organisasi ini selama 2022 menjadi tahun yang “KELAM”.
Moralitas
KELAMNYA tahun 2022 bagi komunitas religius ini berawal dari masalah moralitas. Logikanya, untuk pemilihan pimpinan di dalam lembaga keagamaan, harus mengedepankan nilai-nilai moral antara lain: kejujuran, keterbukaan, dan legowo. Akan tetapi yang terjadi pada komunitas ini justru jauh dari standard nilai-nilai moral, karena yang terjadi adalah kecurangan yang sudah direkayasa secara sistematik sebelumnya. Bahkan ada pengakuan dari oknum bahwa dirinyalah yang membuat salah satu calon menjadi pemenang. Sedemikian rendahnya standard nilai-nilai moral kelompok ini sehingga tidak segan-segan melakukan segala cara kotor hanya demi meraih posisi.
Penghianatan terhadap kawan atau komunitas juga mewarnai perilaku para rohaniawan di dalam lembaga ini. Prinsip-prinsip dan kesepakatan-kesepakatan yang sudah dibangun bersama dan untuk kepentingan bersama, bahkan sudah didoakan bersama, dapat dengan mudah dihianati tanpa merasa bersalah. Pengingkaran terhadap kesepakatan yang berlanjut ke penghianatan terhadap kawan dan komunitas, terjadi karena ada iming-iming yang dianggap lebih menguntungkan secara pribadi. Hal ini selalu terjadi pada momen-momen pemilihan kepememimpinan baik di pusat maupun di daerah-daerah, sehingga mengingkari kesepakatan dan menghianati kawan atau komunitas terkesan sudah menjadi budaya di organisasi ini. Disebut demikian sebab yang ingkar dan berhianat menganggap hal itu biasa, karena sudah biasa melakukannya. Yang lebih memprihatinkan dalam hal ini adalah karena para rohaniwan di komunitas ini dapat dengan mudah mengingkari kesepakatan dan menghianati kawan atau kelompoknya hanya karena amplop dan kedudukan.
Lunturnya integritas kelompok rohaniawan di lembaga ini menambah kelamnya tahun 2022. Para pemegang kewenangan tak bisa lagi dijadikan panutan akibat dari tidak sinkronnya antara kata-kata, khotbah-khotbah, dan jabatan dengan tindakan-tindakan atau perbuatan-perbuatan di lapangan. Pengingkaran dan atau pelanggaran terhadap konstitusi organisasinya dipertontonkan secara terbuka ke publiknya tanpa merasa bersalah. Rasa malu atas perbuatan-perbuatan salah telah hilang dan malahan diganti dengan rasa bangga karena mereka berpikir mampu bertindak melampui konstitusi atau UU lembaganya tanpa ada yang bisa memberi sanksi.
Sewenang-wenang
Kelamnya tahun 2022 akibat dari runtuhnya nilai-nilai moral di dalam komunitas religi ini berdampak buruk secara langsung pada pengelolaan organisasi atau leadership dan menejemennya. Dalam menjalankan tugas-tugas yang berkaitan dengan organisasi, terlalu sering pejabat-pejabatnya membuat kebijakan-kebijakan irasional demi kepentingan mereka atau kelompoknya. Paling sering mereka menggunakan bahasa-bahasa rohani untuk melegitimasi pelanggaran terhadap konstitusi, misalnya ada pejabatnya yang membuat keputusan organisasi yang secara jelas dan nyata-nyata melanggar konstitusi organisasi, tetapi kemudian dilegitimasi dengan bahasa rohani bahwa yang paling penting adalah FIRMAN Tuhan, sedangkan konstitusi atau AD/ART organisasi itu bukan prinsip. Ya ini IRASIONAL, tetapi tetap saja mereka laksanakan.
Selanjutnya, kondisi tahun 2022 bagi organisasi religi ini semakin kelam oleh karena penggunaan kekuasaan secara sewenang-wenang dalam leadership dan menejemennya. Hanya karena bawahan mempertanyakan kewenangan atasan, bawahan dipecat tanpa prosedur yang wajar. Hanya karena tidak menuruti kemauan atasan untuk menyetor, sebuah lembaga kepemimpinan di suatu daerah yang terdiri dari 20 personal, dipecat secara masal, untuk kemudian diganti dengan lembaga kepemimpinan baru, yang sudah tentu prosedur pembentukannnya melanggar konstitusinya sendiri, tetapi bagi pemangku kewenangan, pelanggaran itu sudah menjadi budaya atau bahkan sudah mendarah daging.
Otoriter
Tindakan-tindakan otoriter para pemegang kewenangan di organisasi ini membuat tahun 2022 manjadi lebih kelam. Disebut otoriter karena di lembaga ini hampir semua keputusan yang menyangkut orang atau kelompok, dibuat berdasarkan kepentingan pemegang otoritas, tanpa menghiraukan norma-norma organisasi dan rasa kemanusiaan. Bagi pemegang kekuasaan, setiap orang atau kelompok yang dianggap berbeda pendapat, harus disingkirkan, meski cara menyingkirkan itu melanggar konstitusi lembaga yang dipimpinnya. Jika dilihat secara kritis dan runut, akan nampak bahwa kesewenang-wenangan dan atau otoriterisme para pemangku kekuasaan tersebut sebenarnya adalah tindakan BALAS DENDAM. Oleh karena ini adalah soal balas dendam, maka norma-norma organisasi dan norma-norma moral tidak dihiraukan lagi karena bagi para pemegang kekuasaan, yang penting MENYINGKIRKAN orang atau kelompok yang dianggap lawan atau berbeda pendapat.
Di dalam buku ‘Rasionalitas’ Rm. Armada, mengatakan: “Leadership premanisme terjadi ketika seorang leader menggunakan kekuasaan secara sewenang-wenang membabat setiap kelompok yang MENGKRITISI skandal dan penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh leader dan institusinya”.
Di dalam institusi religius ini, korban-korban yang dibabat hanya karena mengkritisi atau karena dianggap tidak sejalan dengan leader, bergelimpangan di sana sini. Tanpa rasa kemanusiaan, kekuasaan membabat setiap orang atau kelompok yang dianggap berpotensi mengkritisi atau menghambat keinginan para penguasa.
Di suatu daerah di pulau Sumatra terdapat 20 pengurus daerah dibabat habis dan dilarang untuk ikut dalam kepengurugurusan organisasi. Di tempat lain di pulau yang sama, sebuah organisasi daerah dibekukan karena dianggap menghambat kepentingan penguasa dan kroninya. Sementara di pulau Jawa di satu tempat, kepemimpinan daerahnya terpecah akibat pemaksaan kehendak dari penguasa. Dan sadisnya kekuasaan otoriter ini adalah membabat secara tebang pilih, yaitu berdasarkan kedekatan, hubungan emosional, atau etnis. Melihat kenyataan tersebut, tepatlah kiranya jika disebut bahwa leadership otoriter atau premanisme semakin memperburuk kelamnya tahun 2022.
Dari Altar Ke Ruang Pengadilan
Konsekuensi logis dari pelanggaran terhadap norma-norma moral, kesewenang-wenangan, dan penggunaan otoritas secara otoriter adalah konflik. Sejatinya, institusi religius adalah tempat yang damai, tenteram, dan harmoni, karena sarat dengan nilai-nilai ketuhanan. Akan tetapi karena sedemikian kelamnya tahun 2022 sehingga lembaga religi ini justru diwarnai atau disibukkan oleh konflik. Ada konflik di tingkat pusat, ada konflik antar pusat dan daerah, dan ada pula konflik antar rohaniawan di daerah-daerah. Sedemikian parahnya kondisi konflik di dalam institusi ini sehingga konflik-konflik internal berubah menjadi konflik-konflik terbuka dan konfrontatif, dan akhirnya bermuara di ruang pengadilan dengan jenis perkara perdata dan pidana.
Sepanjang sejarahnya di bumi Indonesia, tahun 2022 adalah untuk pertama kalinya para pimpinan di lembaga ini, yang notabene adalah rohaniawan, berkonfrontasi secara terbuka di ruang-ruang pengadilan untuk mencari keadilan dan kebenaran. Dengan kata lain, ruang atau tempat penyelesaian konflik bagi lembaga religius ini, telah bergeser dari altar-altar kudus ke ruang-ruang pengadilan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kredibilitas serta kewibawaan kepemimpinan di lembaga keagamaan ini telah lenyap. Dan kenyataan ini membuat tahun 2022 semakin kelam.
Klimaks
Kelamnya tahun 2022 bagi institusi religius ini mencapai klimaks pada perpecahan komunitas rohaniawan. Orang-orang yang selama ini bisa bekomunikasi secara intensif, kini menjadi renggang bahkan terputus, yang dahulu berteman, kini saling mencurigai, yang dahulu bersahabat karib, sekarang berubah menjadi berkonfrontasi, dan yang dahulu saling mengasihi kini berubah menjadi saling menghianati untuk saling menjatuhkan. Akhirnya falsafah di dunia politik bahwa “Di dunia ini tidak ada kawan atau lawan abadi. Yang abadi adalah kepentingan”, menjelma menjadi falsafah di dalam komunitas keagamaan ini.
Prospek 2023
Akankah kelamnya tahun 2022 ini akan berlalu bersama dengan berlalunya waktu? Akankah konflik-konflik yang telah memasuki ranah hukum dan telah menyeret para rohaniawan ke ruang-ruang pengadilan untuk berkonfrontasi secara terbuka, dapat berakhir dengan damai? Akankah kredibilitas dan kewibawaan kepemimpinan di lembaga ini bisa pulih? Akankah suasana damai, sejahtera, tenteram, harmoni, dapat tumbuh kembali di dalam lembaga ini?
Di lubuk hati yang terdalam dari komunitas lembaga ini ada damba dan harapan akan suasana damai, tentram, dan harmoni kembali mewarnai kehidupan beriman kepada sang pencipta. Hanya saja prospek institusi ini di tahun 2023, masih tampak kelam, dan akan semakin gelap kecuali para pemegang kekuasaan BERTOBAT. Semoga Dia Yang di Atas sana berkenan untuk turun tangan…. Amin.
Dr. S. Tandiassa, M. A. Penulis adalah seorang dosen Sekolah Tinggi teologia Intheos, Surakarta. Juga seorang penulis buku Teologi dan Populer, sudah menulis 12 judul buku. Dan sebagai Sekretaris Majelis Pertimbangan Rohani (MPR) Gereja Pantekosta di Indonesia.