Jakarta – Umat Katolik se dunia berduka. Sabtu (31/12), juru bicara Vatikan, Metteo Bruni mengumumkan bahwa pukul 09.34 waktu setempat, Paus Emeritus Benediktus XVI meninggal dunia di usia 95 tahun, atau nyaris satu dekade setelah beliau mengundurkan diri tahun 2013 lalu.
Paus Emeritus Benediktus XVI yang dikenal dengan nama lahir Joseph Razinger adalah Paus pertama sejak Abad Pertengahan, atau dalam enam abad terakhir, yang mundur sebagai pemimpin Gereja Katolik sedunia.
Paus Emeritus Benediktus, memimpin gereja Katolik selama kurang dari delapan tahun hingga secara mengejutkan pada tahun 2013 lalu, mengumumkan pengunduran dirinya (ia menjadi Paus pertama yang mengundurkan diri setelah Gregory XII pada 1415) dan menjalani kehidupan yang tenang di kediamannya, Biara Mater Ecclesiae, yang ada di kompleks Vatikan, sampai beliau dipanggil sang maha Kuasa.
Jenazah Paus Emeritus Benediktus, seperti diberitakan Sky News, akan berada di Basilika St. Peter, untuk memberikan kesempatan kepada umat untuk mengucapkan selamat tinggal
“Pada Senin pagi, 2 Januari 2023, jenazah Paus Emeritus akan berada di Basilika St. Peter, sehingga umat bisa mengucapkan selamat tinggal,” demikian pernyataan Vatikan yang dikutip dari Sky News.
Meninggalknya Paus Emeritus Benediktus, ternyata tidak hanya membawa “duka” atau rasa kehilangan dari umat Katolik di dunia tetapi dari kalangan protestan pun ikut merasakannya.
Hal itu tertuang dalam sebuah pernyataan resmi yang dikirim oleh Ketua Umum (Ketum) Persekutuan Gereja – gereja di Indonesia (PGI), Pdt. Gomar Gultom, lewat pesan WA kepada media ini, dengan judul “Belasungkawa Ketum PGI atas Wafatnya Paus Emeritus Benedictus XVI,”
“Atas nama gereja-gereja di Indonesia, saya menyampaikan duka mendalam atas berpulangnya Paus Emeritus Benedictus XVI, pada usia 95, hari ini (31/12) di Vatican’s Mater Ecclesiae Monastery,”demikian pesan yang ditulis oleh Pdt. Gomar Gultom.
Kata Ketum PGI, Paus Emeritus Benedictus XVI telah mengakhiri pertandingannya dan kini dimahkotai mahkota kehidupan.
“Saya mengenang beliau sebagai sosok yang teguh mempertahankan kemurnian ajaran gereja. Meski terkesan ortodoks, dengan kegigihannya menentangi pemikiran para teolog progresif seperti teologi pembebasan, dan penolakannya atas aborsi, eutanasia dan LGBT, beliau sangat terbuka dan mendorong dialog antar gereja, dan bahkan antar agama,”. Tulis Pdt. Gomar Gultom.