Jakarta – Ketua Bilangan Research Center (BRC) Handi Irawan mengungkapkan pentingnya persekutuan keluarga untuk meningkatkan spiritualitas seseorang. Namun faktanya, masih banyak keluarga yang tidak memiliki atau tidak pernah memiliki persekutuan keluarga.
“Persekutuan keluarga penting dalam membentuk spiritualitas umat Kristen di Indonesia,” kata Handi dalam seminar kerjasama Yayasan Family First Indonesia (FFI) dan BRC ‘Quo Vadis Persekutuan Keluarga: Bagaimana Strategi & Peran Gereja?’, Selasa (25/5/2021).
Apa yang diungkapkan Handi berdasarkan penelitian yang dilakukan BRC terhadap Indeks Spiritulitas Umat Kristiani Indonesia 2021 yang diikuti oleh 1.137 responden yang terdiri dari umat Kristen di perkotaan yang terdiri dari bermacam aliran gereja/usia/gender dan aktivis maupun bukan.
“Spiritualitas umat Kristiani sebesar 3.79 dari skala 5. Indeks ini menunjukkan spiritualitas Indonesia relatif moderat,” ungkapnya.
Handi menjelaskan, dari banyaknya dimensi dan atribut pertanyaan dalam survei yang dilakukan secara online, salah satunya terdapat pengaruh persekutuan keluarga dalam membentuk spiritualitas umat Kristen di Indonesia.
“Dalam satu bulan terakhir, 49,1% (jarang/tidak ada persekutuan keluarga), 20,7% (1 kali setiap minggu), 10,6% (2-3 kali seminggu) dan 19,7% (rutin setiap hari). Ini menjadi tantangan bagi setiap hamba Tuhan di Indonesia,” katanya.
Handi juga membandingkan persekutuan keluarga sebelum dan sesudah pandemi. Hasilnya sama saja, masih banyak keluarga yang tidak memiliki persekutuan keluarga. Misalnya, sebelum pandemi hanya 16,8% keluarga yang memiliki dan rutin mengadakan persekutuan keluarga setiap hari dan 50,1% jarang/tidak memiliki persekutuan keluarga.
Sementara sesudah pandemi, hanya 19,7% yang rutin mengadakan (memiliki) persekutuan keluarga dan 49,1% jarang/tidak memiliki persekutuan keluarga.
Lebih jauh, bila dilihat dari jabatan dalam gereja, para aktivis/leader/staf gereja sebanyak 31,2% keluarga rutin mengadakan persekutuan keluarga dan 33,5% jarang/tidak memiliki persekutuan keluarga.
Para pembicara dalam webinar. (Foto: Tangkapan layar)
Sedangkan bila hanya simpatisan atau jemaat, hanya 17,6% yang rutin mengadakan persekutuan keluarga dan 51,9% jarang/tidak memiliki persekutuan keluarga.
Sementara itu sebesar 56,2% keluarga yang berasal dari gereja besar (lebih dari 1000 jemaat) yang jarang/tidak memiliki persekutuan keluarga, sedangkan yang rutin mengadakan (memiliki) persekutuan keluarga setiap hari hanya 19%.
“Selama pandemi, frekuensi persekutuan keluarga hanya naik sedikit. Bahkan jumlah umat Kristen yang jarang/tidak ada persekutuan keluarga tetap sama yaitu 50%. Dan umat Kristen yang tidak terlibat pelayanan dan yang beribadah di gereja besar, cenderung lebih rendah frekuensi dalam persekutuan keluarga,” papar Handi.
Di sisi lain, sebagai penanggap pertama, Ketum GBI Pdt. DR. Rubin Adi Abraham mengatakan salah satu hambatan masih belum banyak jemaat yang memiliki kerohanian yang baik. Banyak yang beragama tapi spiritualitasnya dipertanyakan.
“Jadi jemaat perlu diberikan pengertian bahwa dalam sejarah Kekristenan ibadah awalnya dilakukan dalam keluarga, seperti Nuh dan Ayub. Kita (gembala) harus memberikan keteladanan soal persekutuan keluarga (terlebih dulu),” katanya.
Dekan FKIP UK Petra Surabaya, Dr. Magdalena Pranata Santoso mengungkapkan diperlukan komitmen dari pemimpin rohani atau gembala. Gembala juga harus mampu memberikan contoh tentang persekutuan keluarga.
“Prinsip keluarga kristen adalah mezbah keluarga adalah perjalanan bersama setiap hari bersama Tuhan dalam firman,” katanya.
Magdalena memberikan saran praktis untuk bisa meningkatkan persekutuan keluarga yaitu salah satunya melalui camp keluarga Kristen. Di camp ini para keluarga yang terdiri dari suami-istri diberikan prinsip penting dalam persekutuan keluarga agar terinspirasi dan mengajak serta terdorong untuk melakukannya.