Harry Mandagi dan Istri, (Susan Mandagi)

JAKARTA – Pernahkah mendengar seseorang berdoa dengan menggunakan penyebutan kalimat “DALAM NAMA BAPA, ANAK (PUTRA) dan ROH KUDUS yaitu TUHAN YESUS KRISTUS?”.

Apakah penyebutan itu benar sesuai Alkitab? Untuk mengetahui salah atau benar maka diperlukan untuk memahami Allah yang disembah oleh umat Kristiani, yang dikenal dengan istilah Allah Tritunggal atau Trinitas, Allah dalam satu hakekat dengan tiga pribadi, yaitu Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus. Ini adalah Allah orang Kristiani yang diperkenalkan oleh Alkitab.

Untuk memahami satu hakekat dan tiga pribadi memang harus diakui gampang – gampang sulit. Tapi bisa dipahami dengan penjelasan analogi, walau memang menggunakan analogi ini tidak bisa mewakili, paling tidak bisa menjadi jembatan untuk pembaca dapat mengerti. Semisal (analogi), dimulai dari paling rendah, binatang itu berhakekat binatang, manusia itu berhakekat manusia, malaikat itu berhakekat malaikat, dan Allah itu berhakekat Allah—bahasa sederhananya hakekat itu adalah “jenis”. 

Allah memiliki satu hakekat yang namanya Allah. Tapi bersamaan dengan itu Allah memiliki tiga pribadi yaitu Bapa, Anak dan Roh Kudus. Itu sebabnya orang Kristiani walau memiliki satu Allah dengan tiga pribadi yang berbeda tetapi dimasukan dalam golongan agama monoteis karena Allahnya orang Kristiani adalah Allah yang esa (satu). 

Allah yang esa yang dipercayai orang Kristiani berbeda dengan Allah yang esa dalam agama yang menganut monotheis lainnya. Agama lain memercayai Allah yang esa itu satu hakekat dengan satu pribadi, sedangkan orang Kristiani memercayai Allah yang esa yang terdiri dari satu hakekat (Allah) dengan tiga pribadi (Bapa, Anak dan Roh Kudus).

Sebagai bukti Allah itu satu hakekat tetapi memiliki tiga pribadi yang berbeda dapat dilihat secara terang benderang dalam Yohanes 1 : 1 – 2 “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah (pribadi Bapa) dan Firman itu adalah Allah (hakekat Allah). Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah,”

Kata Allah di sini adalah Allah Bapa. Sedangkan kata pada mulanya adalah firman, dalam bahasa aslinya adalah logos yang arti harafiah adalah perkataan, tetapi perkataan di sini mengandung arti pribadi dari Anak. ( Baca Yohanes 1 : 14 ) ini menjadi bukti kuat bahwa kata Firman dalam Yohanes 1 : 1 memiliki arti pribadi dari Anak.

Kata Firman dalam Yohanes 1 : 1 jangan dibatasi dengan pengertian kata logos semata yang berarti perkataan. Sebab kalau dibatasi hanya sebagai perkataan, akan membuat kata Firman dalam Yohanes 1 : 1 itu berarti tidak memiliki perasaan, pikiran dan kehendak, sebagaimana suatu pribadi (hypostasis). 

Padahal kata Firman itu jelas pribadi dari Allah Anak. Baca dengan baik Yohanes 1 : 1 “Pada mulanya adalah Firman…” dan Yohanes 1 : 2 “Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah,” artinya menunjukkan adanya pribadi—dalam hal ini pribadi Anak yang sudah ada sebelum dunia ini dijadikan, bahasa teologianya pra eksistensi—sudah ada dari kekekalan. 

Melalui Yohanes 1 : 1 – 2 telah memberikan pemahaman (jelas) Bapa dan Anak dalam satu hakekat Allah, yang sudah ada sebelum dunia dijadikan, yang berarti Allah Anak tidak diciptakan. 

Pertanyannya apakah Allah Bapa dan Allah Anak itu setara? Tentu. Yohanes 1 : 1 – 2 “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. Ia pada mulanya bersama – sama dengan Allah,”

Bila ada orang yang menganggap Allah Bapa dan Allah Anak tidak setara alias Allah Bapa lebih tinggi derajat dari Allah Anak, dapat dipastikan pemahaman seperti itu bertolak dari kata “Allah menjadi manusia”, Allah berubah total menjadi manusia. Ini pemahaman yang sangat keliru. Tidak ada yang namanya Allah itu bisa berhenti menjadi bukan Allah.

Yang benar itu Allah ‘mengambil’ (‘menambahkan’) natur manusia (waktu Natal) pada pribadi Kristus, tapi natur Ilahinya itu tetap ada. Dan natur Ilahinya itu adalah omnipresent (Allah Maha hadir), tetapi natur manusianya itu terbatas. Jadi itu natur manusia dan natur Illahi bersatu di dalam pribadi Kristus yang Ilahi, satu kesatuan yang tidak bercampur (tidak melebur menjadi satu) dan tidak terpisahkan satu dengan lainnya. 

Biasanya orang – orang yang memiliki pemahaman mendowngrade ke Ilahian Yesus Kristus berlatarbelakang (memiliki)pemahaman Arianisme. Pemahaman ini dipelopori oleh Arius yang pandangannya sudah diselesaikan pada konsili Nicea pada tahun 325 sebagai ajaran sesat.

Selain itu, orang – orang yang memiliki pemahaman mendowngrade ke Ilahian Yesus karena memahami perkataan Yesus “Aku di utus oleh Bapaku, Aku tunduk kepada Bapa-Ku, Aku melakukan kehendak Bapa-Ku, dan sebagainya”. Padahal dalam Injil Yohanes, Yesus berkali – kali mengatakan “kalau engkau melihat Aku maka engkau melihat Bapa, Aku dan Bapa adalah Satu,”. Yang dimaksud dengan ‘Satu’ di sini adalah Yesus dan Bapa mempunyai hakekat yang sama, setara, sederajat.

Contoh ; seorang Gubernur apakah anaknya juga Gubernur? Tentu tidak. Ini berbicara mengenai jabatan, bukan hakekat. Seorang Gubernur manusia bukan? Ya, tentu. Anaknya seorang Gubernur, juga berhakekat manusia bukan? Ya, tentu manusia. Apakah Gubernur dan anak Gubernur mempunyai hakekat manusia yang berbeda hirarki alias tidak setara? Tentu tidak, sebab semua manusia sama derajatnya, tidak ada lebih tinggi atau lebih rendah satu dengan yang lainnya didalam hakekatnya. Yang berbeda antara Gubernur dan anak Gubernur adalah dalam jabatannya, bukan secara hakekat—keduanya adalah manusia. 

BACA JUGA  25 Tahun GBI Ecclesia: Tetap dan akan Terus Fokus dalam Pelayanan Keluarga

Perkataan Yesus bahwa Dia diutus oleh Bapa-Nya, bukan berarti Bapa sebagai pengutus mempunyai hakekat Allah yang lebih tinggi daripada hakekat Yesus. Sekali lagi itu berkaitan dengan ketertundukkan Anak kepada Bapa dalam relasi pengutus dan yang diutus, bukan dalam hal hakekat keAllahan-Nya. 

Bapa, Anak dan Roh Kudus mempunyai hakekat keIlahian yang sama dan setara secara ontologis. Tetapi secara ekonomis, mengenai fungsi dan tindakan dalam relasi antar pribadi itu yang ada jenjangnya seperti Gubernur dan anak Gubernur.

Begitupun dengan Roh Kudus. Jangan dilihat Roh Kudus itu hanya sebatas memiliki kuasa. Sebab Roh Kudus itu juga adalah pribadi—memiliki perasaan, pikiran dan kehendak. Baca Efesus 4 : 30 “Dan janganlah kamu mendukakan Roh Kudus Allah, yang telah memeteraikan kamu menjelang hari penyelamatan,”. Kalau Roh Kudus hanya sekedar kuasa, bukan pribadi, mengapa bisa didukakan?

Kembali kepada hakekat dan pribadi Allah. Perlu dipahami memang sudah menjadi satu istilah teologis bahwa ada penyebutan Allah Bapa menunjuk pribadi pertama, Allah Anak menunjuk pribadi kedua dan Allah Roh Kudus menunjuk pribadi ketiga dari Allah Tritunggal. Jangan dipahami itu sebagai kronologis atau hirarki—itu bukan. Ini hanya untuk membedakan bahwa tiga pribadi tersebut adalah tiga pribadi yang berbeda, dengan satu hakekat yang sama dan setara.

Melalui penjelasan di atas maka penyebutan kata (kalimat) dalam sakramen baptisan atau dalam perjamuan suci ataupun dalam doa berkat dan lain sebagainya, bila menggunakan “Dalam nama Allah Bapa, Anak dan Allah Roh Kudus yaitu Tuhan Yesus Kristus,” itu tidak tepat bahkan salah, karena telah menjadikan Allah Tritunggal sebagai satu pribadi, yangmirip dengan pandangan sabelianisme. Ajaran yang muncul pada abad ketiga dengan pelopornya seorang bernama Sabelius. 

Sabelius mengajarkan Allah itu memiliki satu hakekat dan satu pribadi tapi pribadi ini bisa berubah – ubah dalam tiga manifestasi atau tiga wujud yang berbeda. Pertama Bapa (dalam Perjanjian Lama), setelah itu Bapa berubah menjadi Yesus Kristus (dalam Perjanjian Baru). Ketiga, setelah Tuhan Yesus naik ke surga, berubah menjadi Roh Kudus. Jadi Allah itu hanya berganti – ganti wujud dan ini bukan Allah yang diperkenalkan dalam Alkitab. 

Kalau benar Allah itu hanya berganti – ganti wujud sesuai zaman seperti zaman PL jadi Bapa, zaman PB jadi Anak dan setelah itu jadi Roh Kudus maka ketiga pribadi Allah itu tidak dapat ‘bertemu’ dalam satu waktu yang bersamaan. Tapi kenyataannya Alkitab berkata ketiga pribadi Allah itu dapat bertemu dalam satu waktu yang bersamaan.

Masih ingat kisah Yesus dibaptis? Yesus di baptis—ini pribadi Anak. Bersamaan dengan itu langit terbuka dan ada suara dari atas (suara Bapa)—ini pribadi Bapa. Saat yang sama juga, ada burung merpati yang terbang (lambang dari Roh Kudus)—ini pribadi Roh Kudus. Tiga pribadi yang hadir di dalam waktu bersamaan. 

Selain itu, bila penyebutan kata (kalimat) dalam hal sakramen ataupun dalam doa berkat dan lainnya menggunakan “Dalam nama Allah Bapa, Allah Anak dan Allah Roh Kudus yaitu Tuhan Yesus Kristus,” berarti telah menyatukan (menyamakan) tiga pribadi (Bapa, Anak dan  Roh Kudus) menjadi sama dengan satu pribadi yang namanya “Tuhan Yesus Kristus” (pribadi kedua).

Arti Tuhan adalah suatu ‘jabatan’ yang hanya dapat disematkan kepada Allah sebagai Penguasa dunia, Yesus adalah pribadi kedua dari Allah Tritunggal, sedangkan Kristus berarti ‘yang diurapi’. Dengan demikian Tuhan Yesus Kristus, yang adalah pribadi kedua dari Allah Tritunggal, tidak boleh disamakan dengan keseluruhan dari pribadi Bapa, pribadi Anak dan pribadi Roh Kudus dalam satu kesatuan. 

Pribadi Yesus Kristus (Anak) tidak sama dengan pribadi Bapa dan pribadi Yesus Kristus tidak sama dengan pribadi Roh Kudus, dan pribadi Roh Kudus tidak sama dengan pribadi Bapa, dengan kata lain pribadi Yesus Kristus bukan pribadi Bapa, pribadi Yesus Kristus bukan pribadi Roh Kudus, demikian juga pribadi Roh Kudus bukan pribadi Bapa. Pribadi Bapa, pribadi Anak, pribadi Roh Kudus adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan, tidak bercampur (melebur) menjadi satu tetapi pribadi-pribadi tersebut dapat dibedakan satu dengan yang lainnya.

Apabila ingin memasukkan kata “Tuhan Yesus Kristus” yang tertulis dalam Matius 28 : 19 “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus,” mungkin boleh menambahkan penyebutan seperti  “Dalam nama Allah Bapa, Anak yaitu Tuhan Yesus Kristus dan Roh Kudus,”. Ini penyebutan yang masih dapat diterima dalam konteks mempertegas pribadi kedua yaitu Allah Anak dengan sebutan Tuhan Yesus Kristus. 

BACA JUGA  Covid-19 di RI Melandai Kegiatan Gereja (Ibadah Offline) “Bergeliat”

Secara esensi pengalimatan tersebut tidak mengubah arti dengan apa yang dikatakan dalam Mat 28:19, hanya mempertegas siapakah “Anak” itu. Ini hanya suatu ‘penambahan’ kata-kata (seharusnya tidak perlu) untuk mempertegas rumusan baptisan yang diajarkan Tuhan Yesus di Mat 28:19. Sesungguhnya penambahan kata-kata tersebut tidak perlu dilakukan apabila merujuk kepada pengertian Allah Tritunggal yang orthodox yang diterima gereja sepanjang zaman, cukup menggunakan istilah yang sudah diajarkan oleh Tuhan Yesus sendiri di dalam Mat 28:19.

Kalimat dalam nama Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus yaitu Tuhan Yesus Kristus adalah rumusan yang dipakai oleh Oneness Pentacostalism dalam rumusan baptisan dan dalam doa-doa mereka karena mereka percaya keesaan Allah secara mutlak, yaitu Allah dengan satu hakekat dalam satu pribadi. 

Pandangan seperti ini seringkali juga disebut sebagai “Jesus Only” karena pribadi Bapa, Anak dan Roh Kudus itu sama dengan pribadi Yesus (Anak), yang secara implisit dapat diartikan, Bapa sama dengan Anak (Yesus), dan Roh Kudus sama dengan Anak (Yesus). Bukankah ini mirip dengan pandangan Sabelianisme yang sudah dianggap sesat dalam sejarah gereja?

Mengapa kelompok Oneness Pentacostalism ini menambahkan kata “yaitu dalam nama Tuhan Yesus Kristus” pada rumusan baptisan maupun dalam doa-doa mereka? Penambahan kalimat ini karena adanya 4 ayat: Kis 2:38, Kis 8:16, Kis 10:48 dan Kis 19:5 yang juga mengatakan ada baptisan dalam nama Tuhan Yesus oleh para murid Kristus. Dengan demikian, rumusan baptisan yang diajarkan Tuhan Yesus pada Mat 28:19: “dalam nama Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus” mereka gabungkan dengan “yaitu Tuhan Yesus Kristus”, karena dianggap ini juga rumusan baptisan. 

Kis 2:38 Jawab Petrus kepada mereka, “Bertobatlah dan hendaklah kamu masing-masing dibaptis dalam nama Yesus Kristus untuk pengampunan dosamu, maka kamu akan menerima karunia, yaitu Roh Kudus,”. 

Kis 8:16 “Sebab Roh Kudus belum turun di atas seorang pun di antara mereka, karena mereka hanya dibaptis dalam nama Tuhan Yesus,”.

Kis 10:48 “Lalu ia menyuruh mereka dibaptis dalam nama Yesus Kristus. Kemudian mereka meminta Petrus untuk tinggal beberapa hari lagi bersama-sama dengan mereka,”.

Kis 19:5 “Ketika mereka mendengar hal itu, mereka dibaptis dalam nama Tuhan Yesus,”.

Benarkah ke 4 ayat di Kisah Para Rasul tersebut adalah rumusan baptisan juga yang diajarkan para rasul? Apakah murid-murid Tuhan Yesus berani menggantikan rumusan baptisan yang sudah diajarkan oleh Tuhan Yesus pada Mat 28:19 ? Bagian ini perlu dipikirkan dengan kritis bagaimana menafsirkan ke 4 ayat di Kisah Para Rasul tersebut dengan bertanggung jawab sesuai maksud dari Alkitab itu sendiri. 

Perhatikan ke 4 ayat di Kisah Para Rasul tersebut memakai kata “dibaptis” dalam bentuk pasif sedangkan dalam Mat 28:19, Tuhan Yesus menggunakan kata “baptislah” dalam bentuk aktif. Kata “dibaptis” dalam bentuk pasif hanya menekankan proses baptisan itu, bukan menjelaskan secara detail bagaimana seseorang itu dibaptis.

Sebaliknya dalam Mat 28:19 kata “baptislah” dalam bentuk aktif, menerangkan bagaimana terjadinya baptisan itu dengan satu rumusan yang Yesus ajarkan. Kalimat “dibaptis dalam nama Tuhan Yesus” ini bukan rumusan baptisan tetapi otoritas yang Tuhan Yesus berikan kepada seseorang untuk membaptis atas nama (mewakili) Tuhan Yesus. Perintah untuk membaptis itu datang dari Tuhan Yesus sendiri. Jadi untuk membaptis orang lain, Dia berikan otoritas / wewenang kepada seseorang misalnya seorang pendeta untuk melakukannya atas nama-Nya.  Perintah membaptis dalam otoritas yang Tuhan Yesus berikan kepada seseorang dengan satu rumusan baptisan yaitu ‘dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus’, itulah yang Tuhan Yesus ajarkan.

Menggabungkan rumusan baptisan pada Mat 28:19 dengan kalimat yang ada di Kisah Para Rasul adalah suatu kesalahan fatal karena selain mengubah arti rumusan yang diajarkan Tuhan Yesus, juga telah melanggar firman Tuhan dengan telah menambah perkataan-perkataan pada firman Tuhan tersebut (Wah 22:18-19). Rumusan tersebut menjadikan bukan Allah Tritunggal yang othodoxy yang dipercaya oleh gereja yang Am sepanjang zaman.

Hal ini perlu disikapi dengan serius karena menyangkut pemahaman teologia yang paling mendasar agar jemaat dapat diperlengkapi dengan pemahaman dasar yang benar dan Alkitabiah. Konsep Allah Tritunggal sudah final seperti yang dinyatakan dalam konsili-konsili dalam sejarah gereja.

Penulis : Harry Mandagi, adalah seorang pemerhati yang memiliki panggilan pelayanan untuk umat Kristiani di Indonesia lintas Sinode Gereja.

Apa pendapat anda tentang post ini ?
+1
1
+1
1
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini