JAKARTA – Pandemi Covid-19 telah membuat semua sektor terdampak, termasuk gereja. Sejak Maret 2020, gereja telah mengalihkan ibadahnya secara online dan meniadakan seluruh kegiatan secara tatap muka.
Dari penelitian yang dilakukan Bilangan Research Center (BRC) tentang Dinamika Keuangan Gereja, didapati hasil bahwa pada bulan Mei VS April 2020 pendapatan gereja turun sebesar 43,1%, sedangkan pendapatan yang sama sebanyak 39.8% dan yang naik sebesar 17,1%.
Jika dibagi per daerah, di Jabodetabek sebanyak 36% gereja mengalami penurunan pendapatan, 50,3% gereja pendapatannya sama dan 13,7% gereja mengalami kenaikan pendapatan.
Sementara di Pulau Jawa, antara gereja yang mengalami penurunan pendapatan dan sama pendapatannya sebanyak 38,2%. Sementara sebanyak 23,7% gereja pendapatannya naik.
Sedangkan di luar Pulau Jawa, 52,8% gereja mengalami penurunan pendapatan, 32,5% pendapatannya sama dan 14,7% pendapatannya naik.
Kemudian dilihat dari aliran, gereja Pantekosta/Karismatik paling banyak mengalami penurunan pendapatan hingga 50%. Hanya 35% yang pendapatannya sama dan 15% yang pendapatannya naik.
Aliran Mainstream, sebanyak 44,7% mengalami penurunan, 32% pendapatannya sama dan 23,3% pendapatannya meningkat.
Hal berbeda terjadi di aliran Injili. Banyak gereja dari aliran ini yang justru pendapatannya sama yaitu sebanyak 51,1%. Sedangkan yang mengalami penurunan pendapatan 35% dan yang mengalami kenaikan pendapatan 13,9%.
Dari kondisi tersebut, jika diasumsikan penerimaan kolekte tetap sama seperti bulan April 2020 dan tanpa adanya bantuan dari pihak luar gereja maka sebanyak 31% gereja hanya dapat bertahan 1-3 bulan. Sedangkan yang bisa bertahan hingga 4-6 bulan sebanyak 24,1%. Kemudian yang bisa bertahan hingga 6-12 bulan sebanyak 17,3%. Sementara itu yang bisa bertahan lebih dari 12 bulan sebanyak 27,6%.
Melihat dari data yang ada, gereja mau tidak mau harus menekan budget agar lebih efisien. Berbagai cara pun dilakukan gereja.
Masih dari hasil survei, sebanyak 87,6% gereja memilih untuk efisiensi pengeluaran dan 21,4% memilih untuk mengurangi gaji pendeta serta pengurus. Sementara itu sebanyak 12,2% gereja mengadakan penggalangan dana dan 2,6% gereja memilih meminta bantuan sinode. Sementara itu ada pula gereja yang memilih untuk meminta bantuan kepada lembaga lain, sosialisasi serta edukasi terkait persembahan kepada jemaat, mempermudah jemaat memberikan persembahan melalui digital payment dan lain-lain.
Menurut Pengawas BRC, Kresnayana Yahya dalam sebuah webinar BRC baru-baru ini, gereja bisa mengalai kenaikan pendapatan dimasa pandemi karena memiliki jaringan yang kuat untuk membentuk kongregasinya. “Gereja yang kondisi keuangannya terbuka mampu membangun keikutsertaan. Ini mungkin terjadi dalam gereja yang hubungan antara peronal dan gerejanya sangat baik,” katanya.
Sementara itu, salah satu Ketua PGI Pdt. Bambang Widjaja menjelaskan dimasa pandemi gereja memang harus pintar memprioritaskan pengeluaran. Gereja harus mampu membagi pengeluaran untuk hal yang bersifat esensial terlebih dulu, baru untuk hal yang bersifat opsional.
Menurutnya, jika saat ini gereja mengalami masalah keuangan, itu terjadi karena gereja belum menyampaikan pengajaran keuangan yang sehat – mengajarkan cara mengatur keuangan dengan sehat kepada jemaat. “Tidak sedikit gereja yang mengajar jemaat memberikan dengan emosi. Akibatnya ketika masa ini gereja mengalami masa yang tidak mudah,” ungkapnya.
Dari pengamatannya, hanya 3-4% jemaat yang menyisihkan uang untuk gereja. Untuk itu ia menghimbau supaya gereja perlu belajar mandiri, belajar transparasi soal keuangan, dan perlu memiliki emergency fund (dana darurat).
Soal pemotongan gaji pendeta, Pdt. Bambang berkata tidak bisa disama ratakan semua gereja. Sebab masing-masing aliran gereja memiliki sistem sendiri soal gaji pendeta. “Ada gereja yang menggunakan sistem gaji dan perpuluhan alias keuangan dikelola oleh gembala. Kalau gereja itu bukan sistem gaji, ya caranya jemaat yang ‘memotong’ gaji pendeta lewat berkurangnya perpuluhan,” katanya.
Sementara jika gereja yang memiliki sistem gaji, harus bijak mengelola keuangan dengan memprioritaskan dulu hal-hal yang bersifat esensial dan opsional. Jika sudah dan masih mengalami kesulitan keuangan, pemotongan gaji pendeta adalah pilihan terakhir. “Gaji pendeta adalah yang terakhir yang dipotong,” tegasnya.
Di sisi lain, Fasilitator JDN Pdt. Mulyadi Sulaeman mengatakan suka tidak suka gereja memang harus hidup berdampingan dengan Covid-19 sampai vaksin ditemukan. “Gereja dalam hal ini harus menemukan model keputusan atau sikap atau kebiasaan baru yang cocok di daerah masing-masing, dengan latar belakang jemaat yang ada. Saya percaya gereja akan bertumbuh, paling tidak dapat bertahan dimasa-masa sulit. Apalagi bagi gereja yang sudah punya gedung sendiri,” tuturnya.
Namun, lanjut mantan Ketua Sinode Gereja Sidang Pantekosta Di Indonesia (GSPDI) ini, gereja yang menganut manajemen seperti sekuler akan mengalami kesulitan setelah 6 bulan. (NW)